*OM SWASTIASTU* selamat datang di website ikatan keluarga besar trisakti hindu

Live From Twitterland

   

TUJUAN PERKAWINAN MENURUT HINDU

1.Pengertian tentang Hukum Hindu
Hukum adalah kaidah (aturan) yang telah ditetapkan oleh agama yg diyakininya khususnya dalam hal ini adalah agama Hindu karena kontekstualnya kita akan membicarakan Hindu.
Hukum ini mutlak harus dipatuhi, sebagai panduan didalam mengatur tata hidup, baik dalam kehidupan individu, keluarga dan masysrakat pada umumnya. Menurut agama Hindu

BURUNG GARUDA

Putih warna pahanya hingga bagian pusarnya,
Merah warna dadanya hingga batang lehernya"
Gàrudeyamantra, 3-4.
Setiap bulan Agustus, di seluruh Indonesia dan juga pada perwakilan-perwakilan atau Kedutaan Besar R.I di seluruh dunia, bendera merah putih dan berbagai hiasan seperti ider-ider, umbul-umbul merah putih telah berkibar. Merah putih kini berkibar di seluruh pelosok desa dan kota , kantor-kantor pemerintah, swasta, balai pertemuan dan rumah-rumah penduduk. Semuanya ini dilakukan untuk menyambut kemerdekaan Republik Indonesia . Berbagai perayaan mulai digelar untuk peringatannya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, warna merah putih sangat mendominasi perayaan Agustus-an. Merah putih sebagai bendera nasional secara resmi telah berkibar pada saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia , puluh-an tahun yang silam dan pastilah bendera nasional ini akan selalu dan selamanya berkibar di atas bumi persada tercinta, Nusantara.
Di samping bendera merah putih, tidak dapat dipisahkan adalah lambang negara Garuda Pancasila. Bagaimanakah burung gagah perkasa ini bisa ditetapkan sebagai lambang negara? Kiranya dalam suasana menyambut dan memeriahkan kemerdekaan Republik Indonesia, kita telusuri kembali makna Garuda yang dikenal pula sebagai burung merah putih baik dalam alam pikiran prasejarah, peninggalan purbakala, dalam karya sastra maupun pandangan hidup bangsa Indonesia di masa yang silam.
Bila kita telusuri peninggalan prasejarah di Indonesia , lukisan burung garuda atau bulu burung garuda dapat ditemukan pada nekara perunggu tipe Pejeng dan cetakan batu dari desa Manuaba. Kecuali burung garuda, pada masa itu telah dikenal pula beberapa jenis burung tertentu seperti enggang dan merak yang dianggap mengandung arti magis-simbolis. Di antara berbagai lukisan burung itu, hiasan burung garuda sangat digemari. Burung garuda adalah burung matahari atau burung rajawali yang dianggap sebagai lambang dunia atas (Sutaba, 1976,14, Van der Hoop, 1949:178). Lukisan atau relief burung garuda dikenal pula pada masa prasejarah India , yakni ditemukannya lukisan di Harappa (lembah sungai Sindhu) berupa gambar seekor burung garuda yang sedang membabarkan sayapnya dan kepalanya berpaling ke arah kiri. Di atas masing-masing sayapnya terdapat beberapa ekor ular. Burung elang atau garuda yang dilukiskan bersama-sama ular merupakan dasar bentuk binatang garuda yang merupakan wahana dewa Viûóu di India, dilukiskan melayang-layang mencucuk seekor ular di paruhnya (Wiryosuparto, 1956: 21). Selanjutnya di dalam Rgveda yang merupakan sumber ajaran agama Hindu dilukiskan berbagai aspek keagungan Tuhan Yang Mahaesa dengan berbagai nama atau wujud seperti Agni, Yama, Varuna, Mitra dan Garutma atau garuda. Kemahakuasaan-Nya bagaikan garuda keemasan yang menurunkan hujan menganugrahkan kemakmuran (Rgveda I.164.46,47,52).
Dalam perkembangan sejarah kebudayaan Indonesia, burung garuda yang terkenal dalam wiracarita Hindu ternyata mempengaruhi kesenian Indonesia (Stutterheim,1926:333), misalnya arca garuda wahana Visnu yang digambarkan sebagai manusia biasa hanya kepalanya diberi bentuk kepala burung(Wiyosuparto,1957: 54). Arca garuda sebagai wahana Visnu yang lain dapat kita ketahui dari gambar sayap burung garuda pada kaki arca Visnu dari candi Banon dan arca garuda mendukung dewa Visnu dari candi Belahan (Kempers,1959: 37,71).
Dalam bentuk pahatan relief dapat kita ketahui dari relief garuda menyembah Visnu yang didukung oleh naga Ananta, salah satu episode dari ceritra Ràmàyana pada relief candi Civa, Prambanan, relief garuda pada candi Kidal, Kedaton dan Sukuh(Ibid,74,97,102). Pada umumnya relief-relief garuda pada candi-candi tersebut mempunyai pertalian yang erat sekali dengan ceritra Amrta (air kehidupan abadi) seperti dilukisakan secara gamblang di candi Kidal yang mengandung magis-simbolis yakni sebagai lambang kalepasan atau kebebasan jiwa dari seseorang yang telah meninggal dunia (Sutaba,1976:4).
Relief garuda pada candi Kedaton, ceritranya hampir sama dengan garuda pada candi Kidal. Pada candi ini kita melihat relief ibu dari Garuda yang bernama dewi Vinata, Garuda sedang menikmati makanan yang diperintahkan oleh ibunya, ia dilarang memakan Brahmana yang masuk kemulutnya (Kempers, 1959:97).
Dalam pelinggalan epigrafis, cap atau stempel Garudamukha pertama kali dipakai oleh Úri Mahàràja Balitung (808-910) yang memerintah di Jawa Tengah. Sejak pertengahan abad X sampai permulaan abad XIII burung garuda dijadikan lencana kepala negara terutama yang sangat terkenal adalah cap Garudamukha yang dipakai oleh Prabhu Airlangga (1016-1042). Cap Garudamukha dipakai tidak saja pada piagam negara melainkan terutama menguatkan surat-surat atau tulisan di atas batu yang dipakai sebagai tanda pemberian tanah kepada Talan oleh Airlangga dalam tahun 1039 dengan dibubuhi cap Garudhamukha itu, anugrah ini dikuatkan lagi oleh raja Jayabhaya yang memerintah Kadiri dalam abad XII. Rupanya terus-menerus sejak Airlangga sampai kepada Kertajaya, raja Kadiri yang paling akhir (1222), Garudamukha dipakai sebagai cap kepala negara. Di antaranya juga oleh raja Jayabhaya yang sampai kini menjadi terkenal namanya sebagai pemegang lambang dan nujum ke arah masa depan (Yamin, 1954:130,134).
Ceritra dan peranan sang Garuda rupanya sangat populer di dalam kesusastraan Jawa Kuno. Hal ini dapat kita ketahui dalam kakawin Ràmàyana, yakni episode Garuda yang gagah perkasa dengan kekuatannya yang dahsyat mampu membebaskan Úri Ràma dan seluruh pengikutnya dari belenggu ikatan naga tali yang dilemparkan oleh putra Ravana bernama Indrajit (Ràm,XXI,149-155).
Di dalam Àdiparva kita jumpai episode kelahiran sang Garuda serta missi yang diembannya untuk membebaskan ibu kandungnya dari perbudakan atau penjajahan yang dilakukan oleh sang Kadru (Àdiparva, VI) sedang di dalam kakawin Bhomàntaka dijelaskan peranan sang Garuda membantu Úri Kåûóa yang bertempur menghadapi raja raksasa yang bernama Bhoma. Garuda dengan kibasan sayapnya menyebabkan terpental dan lepasnya mahkota milik sang Bhoma yang berisi permata ajimat bernama Vijayamàlà. Vijayamàlà ini segera diambil oleh sang Garuda yang menerbangkannya jauh tinggi dan kemudian Sri Kadru berhasil memenggal leher sang Boma, kepalanya dengan wajahnya yang menyeringai jatuh kepangkuan ibu pertiwi (Bhomàntaka,CVIII.1-4). Rupanya episode ini mengilhami para arsitek tradisional Bali (undagi/sangging) untuk menempatkan ukiran Bhoma di atas pintu (ambang) Kori Agung, pintu masuk sebuah pura.
Lebih jauh di dalam kakawin Bhàratayuddha disebutkan bahwa kereta Úri Kåûóa dihiasi bendera (dvaja) berwujud raja burung, yakni Garuda yang seakan-akan berteriak di angkasa diikuti oleh gemuruhnya suara gamelan (IX.10). Pada episode berikutnya dijelaskan gelar perang (formasi menyerang dan bertahan) yang disebut Garudavyùha. Drupada sebagai kepala, paruhnya adalah Arjuna, punggungnya para raja yang dipimpin oleh Yudhistira. Dåûþadyumna dan bala tentaranya sebagai sayap kanan, Bhima mengambil formasi sebagai sayap kiri. Satyaki sebagai ekor burung garuda. Formasi tempur Garudavyùha ini ditiru pula oleh pihak lawan, yakni Kaurava yang dipimpin oleh Suyodhana (XII.6-8).
Di samping dalam karya sastra berbahasa Jawa Kuno tersebut di atas, dalam puja atau stuti dan stava para pandita Hindu di Bali dapat dijumpai sebuah mantra atau stava yang disebut Gàrudeyamantra. Mantra ini pertama kali ditemukan di puri Cakranegara, Lombok dan telah diedit oleh Juynboll (1927) yang dikutip pula oleh Mr.Muhammad Yamin dalam bukunya 6000 Tahun Sang Merah Putih (1954:130). Mantra ini diucapkan oleh para pandita sesaat sebelum menikmati hidangan untuk mencegah racun yang mungkin terdapat dalam makanan tersebut. Berikut dikutipkan terjemahan mantra, tersebut :
"Garuda adalah burung yang sangat berkesan dan menakutkan, giginya tajam, matanya merah. Paruhnya besar dan lehernya panjang, memiliki kecepatan bergerak bagaikan angin 1".
"Kedua lututnya berwarna emas, perutnya berbentuk gunung, lehernya bercahaya bagaikan sinar matahari dan kepalanya nampak seperti cahaya berpijar 2".
"Warna bulunya kuning mengesankan. dari kakinya sampai ke lutut. Warna tubuhnya putih mengesankan dari pahanya sampai ke pusarnya 3".
"Warna merah mengesankan dari hati sampai ke bawah paruh. Warna hitam mengesankan dari paruh sampai bagian atas kepalanya 4" (Hooykaas, 1971:269).
Burung garuda yang dilihat dari penampilannya sesuai terjemahan mantra di atas disebut sebagai burung merah putih yang di dalam bahasa Sanskerta disebut "Sveta-rakta- khagaá", sebagai juga dipopulerkan oleh Prof.Mr.Muhammad Yamin salah seorang dari founding fathers bangsa kita.
Ternyata garuda tidak hanya disebut-sebut dalam karya sastra tetapi menyatu dengan pandangan hidup masyarakat, terutama masyarakat Bali yang beragama Hindu. Dalam arsitektur tradisional Bali, burung garuda juga di tempatkan di belakang bangunan suci Padmàsana, Gedong Bata, Bade (menara pengusung jenasah dalam upacara Ngaben), pada "tugeh" (tiang penyangga atap puncak) pada Bale Dangin (balai tempat menyelenggarakan upacara kematian) dan lain-lain, bahkan di dalam sesajenpun, khususnya "banten pasucian" dalam tingkatan upacara yang besar terdapat juga sesajen bernama "Banten Garuda". Juga banten pangesoring Sùrya dan Ulam Babangkitpun menurut lontar Kunadåûþaprakåtti menggunakan sate berbentuk garuda".
Berdasarkan uraian tersebut di atas, garuda dalam alam pikiran bangsa Indonesia di masa yang lalu maupun masyarakat Bali kini tetap berpegang kepada nilai filosofis atau makna garuda sebagai salah satu aspek kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai burung merah putih (sveta-rakta-khagah) yang mempunyai missi untuk membebaskan umat manusia dari belenggu perbudakan atau penjajahan, baik penjajahan jasmani maupun belenggu dunia material yang menyesatkan.
Sungguh sangat tepat pilihan para pendiri negara, menjadikan Garuda yang kakinya mencengkram sasanti Bhineka Tunggal Ika dan di dadanya tergantung perisai sebagai simbolis Pancasila, lengkap dengan Candrasangkalanya, 17-8-45, sebagai lambang negara yang kita cintai. Semoga dengan kemerdekaan ini, missi garuda Pancasila membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan dalam wujud kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan segera tuntas dan entas oleh kibasan sayapnya yang perkasa.

TIRTAYATRA

Pengertian tirtayatra
Tirtha-yatra berasal dari kata tirtha dan yatra. Tirtha berarti air suci, air kehidupan, atau nectar, tempat-tempat suci yang ada air sucinya dan lain-lain. Tirtha juga berarti orang-orang suci, sebab orang-orang suci umumnya berada di tempat-tempat suci yang ada air sucinya. Atau, orang-orang suci juga disebut sebagai tirtha karena orang-orang suci mempunyai kekuatan suci untuk menyucikan orang, seperti halnya kekuatan yang dimiliki oleh tempat-tempat suci dan/atau tirtha. Di Bali tirta berarti air suci yang sudah dimohonkan kepada Tuhan yang mana sudah menjadi wangsuh pada dari tuhan dan sudah mendapat berkat dari tuhan. Air itu walaupun dibuat dari air aqua atau air pancuran, tapi sudah melalui suatu proses upacara keagamaan atau spiritual tertentu sehingga tidak lagi menjadi air biasa, ia telah menjadi tirta.Tirta bisa juga berarti tempat suci. Di India ada tempat suci yang kesuciannya melebihi tempat suci yang lain. Tempat suci itu disebut  chardame. Char atinya empat dan dame artinya tempat yang sangat suci. Keempat tempat suci itu yaitu:1.      Bradrinat  yang ada di Himalaya tempat Rsi Wiasa bertapa. Goa tempat bertapa sampai sekarang masih ada.2.      Edarnat tempat pemujaan kepada dewa siwa3.      Jamuna Sri tempat munculnya sungai jamuna4.      Gangga Sri tempat munculnya sungai gangga.Siapun yang berhasil mengunjungi keempat tempat suci ini  kemoksaan atau pembebasan duniawai terjamin. Oleh karena itu sangat jarang ada orang berhasil kesana. Walaupun tempat ini melebihi tempat lain kesuciannya, namun pergi kesan tidak disebut Darmayatra tapi tetap disebut tirtayatra. Yatra berarti perjalanan. Jadi, tirthayatra berarti perjalanan suci mengunjungi tempat-tempat suci, perjalanan suci untuk menyucikan diri, perjalanan suci untuk bertemu dengan orang-orang suci, perjalanan suci untuk penyucian diri dari dosa-dosa. Kata tirtha secara tata bahasa Sanskerta disebutkan  berasal dari akar kata “tr” yang berarti “tiryate anena” (dengan mana diseberangkan), dengan mana orang diseberangkan dari lautan dosa.  Istilah lain yang mempunyai arti yang sama dengan tirthayatra adalah tirthatana, tirthabhigamana Orang-orang yang melakukan tirtayatra disebut tirtayatri  yang di India disebut yatri saja. Disamping tirtayatra ada istilah lain yang mirip dengan tirtayatra adalah dharmayatra. Dharmayatra biasanya lebih tepat untuk menyebutkan orang-orang yang melakukan perjalanan suci untuk menyebarkan dharma. Sebagai contoh perjalanan yang dilakukan Rsi Agastia yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan ajaran dharma.
Tirtayatra merupakan yadnya agung yang sangat mulia,  oleh karena itu ia merupakan keharusan untuk dilakukan oleh setiap orang. Sebagai orang tua hendaknya memberi rangsangan kepada anak-anaknya untuk rajin secara teratur melakukan perjalanan tirtayatra. Pada anak-anak akan tersurat, terekam suatu kebahagiaan yang berbeda dengan kebahagiaan di rumah bila menonton T.V. Itu akan menjadi bekal hidupnya ke depan. Bagi yang kurang mampu (daridra) tetap bisa melakukan tirtayatra ke dalam diri karena dalam diri juga ada tirta. Jadi tirtayatra ke dalam diri ini berarti membersihkan diri ke dalam.
 Tahap persiapan:
Sehari sebelum berangkat bertirtayatra sebaiknya kita menyalakan dupa, melakukan “matur piuning” kepada beliau yang di tuju, mohon izin dengan cara “ngacep” dari jarak jauh atau dari rumah. Jika tidak melakukan ini maka walaupun kita sampai ditempat yang di tuju tidak akan mendapat berkah dari tampat suci itu. Disamping itu kita juga harus “matur piuning” kepada leluhur. Matur piuning kepada leluhur sangat penting karena leluhur akan menyertai kita dalam perjalanan ke tempat tirtayatra.
Yang tak kalah penting dalam persiapan yaitu persiapan terhadap kata-kata (wat), badan (kaya) dan pikiran (manah). Prabu menyebut persiapan ini dengan sebutan three in one. Jika dalam bertirtayatra ini memerlukan uang maka uang itu tidak boleh didapat dengan cara melanggar dharma dan tidak boleh didapat secara kredit.
 Tahap pelaksanaan:
Tirtayatra bukanlah perjalanan wisata biasa oleh karena itu hendaknya selama melaksanakan tirtayatra kendalikan apa yang disebut three in one. Misalnya perkataan dikendalaikan dengan menyanyikan lagu-lagu rohani seperti mekidung, bagjan, kirtanam dsbnya. Badan dikendalikan dengan menyanyi lagu-lagu rohani sambil bertepuk tangan. Sedangkan pikiran akan terkendali karena kita mendengar lagu-lagu rohani yang masuk kedalam pikiran.
Selama perjalanan kita tidak boleh membicarakan orang lain atau ngerumpi apa lagi menjelek-jelekan orang itu. Hindarkan pula berkata-kata atau bergurau atau bercanda yang kelewatan sehinga mengeluarkan kata-kata kotor atau kata-kata cabul dsbnya.
Setelah sampai di tempat yang dituju harus bersembahyang di tempat itu. Kalau di tempat itu ada tempat mandi, maka sebaiknya mandi. Jangan sesampai ditempat tirtayatra hanya foto-foto saja lalu pulang. Jika hal demikian yang dilakukan maka tidak ada manfaatnya bertirtayatra Di tempat tirtayatra kita harus mandi untuk meninggalkan kotoran batin dan bukan kotoran fisik. Dalam bertirtayatra yang kita mandikan bukan fisik tapi bathin kita.
Memasuki tempat bertirtayatra bagaikan masuk ketempat ruangan yang ber AC. Jika masuk ke ruangan yang ber AC terasa dingin atau sejuk maka seperti itulah tirtayatra itu seperti masuk dari daerah panas ke daerah dingin. Kita masuk ke tempat suci terasa dingin karena  mendapat getaran suci dari tempat suci.
Masuk ke tempat suci  bisa juga menyebabkan orang mengalami sakit bukan bermaksud untuk menyakiti orang itu tapi bermaksud membersihkan  orang itu dari problem-problem yang dialaminya. Perbersihan dari tempat suci ini lebih hebat dari pembersihan yang dilakukan dengan cara melukat yang biasa dilakukan di Bali .
Mereka yang melakukan tirtayatra  bisa dikatakan berhasil kalau selama pelaksanaan tirtayatra mereka mampu  melakukan minimal dua hal sbb:
1.       Dalam melaksanakan tirtayatra mereka yang makan tidak terlalu banyak, dapat mengendalikan indrianya, tidak mengembangkan kemunafikan, tilang tingkah lakunya tidak dibuat-buat, melepaskan diri dari  berbagai keterikatan keduniawian.
2.     Dalam melaksanakan tirtayatra mereka yang menjauhkan diri dari kemarahan, mereka yang kesadarannya bersih murni, mereka yang berbicara benar dan jujur, mantap dalam pelaksanaan sumpah-sumpah suci / brata-brata, mereka menghormati mahluk-mahluk lain sebagai menghormati dirinya sendiri.
Dalam melaksanakan tirtayatra usahakan melaksanakan tirtayatra dalam tingkatan satwa guna yaitu tirtayatra dalam tingkat kebaikan seperti tirtayatra demi penyucian diri, demi kebaikan leluhur supaya tenang di alam sana dan lahir menjadi orang yang lebih baik lagi. Jangan bertirtayatra dalam tingkat raja guna yaitu dalam tingkat kenafsuan seperti ingin mendapatkan cincin, keris dan ilmu kesaktian dsbnya. Jangan pula bertirtayatra dalam tingkat tama guna atau dalam tingkat kegelapan.
Yang sangat penting diperhatikan adalah selama bertirta yatra janganlah membawa daging sapi. Jika kita membawa daging sapi maka kita tidak akan mendapat apa-apa dalam bertirtayatra. Sapi adalah binatang yang sangat agung menurut weda, sapi hanya memakan rumput tapi sapi memberikan amerta kapada kita. Maka dari itu tidak sepantasnya kita membunuh sapi.
Bagi yang bertirtayatra bersama istri jangan melakukan hubungan suami istri selama bertirtayatra.
Paska bertirtayatra:
Setelah selesai bertirta yatra janganlah hasil tirtayatra ini dikotori dengan perbuatan-perbuatan kotor, atau pergi ke tempat-tempat kotor seperti ke tempat-tempat judi, mabuk-mabuk dan tempat PSK dsbnya. Kalau itu yang dilakukan maka akan menurunkan nilai dari tirtayatra itu, orang yang bertirtayatra seperrti itu tidak akan mendapat apa-apa.
Setelah bertirtayatra janganlah lalu menjadi orang aneh, tidak mau ini atau itu  karena menganggap diri sudah menjadi orang suci. Tidak hanya kunjungan ke India membuat orang menjadi suci.



Oleh Prabu Dharmayasa
Pada tanggal 2 Nopember 2008 Prabu Darmayasa memberikan darmawacana di Pura Sanggabuana Karawang. Prabu membagi darmawacananya dalam empat bagian yaitu, pengertian Tirtayatra, tahap persipan tirtayatra, tahap pelaksanaan tirtayatra dan paska tirtayatra.

JAPA MANTRA

Na tu mam sakyase drastum anenai’wa swacaksusa, Diwyam dadami te caksuh pasya me yogam aiswaram. Artinya: Tetapi engkau tak mungkin dapat melihat Aku dengan matamu sendiri ini, ini Aku berikan engkau mata suci, saksikanlah kekuatan-kekuata Ku sebagai Dewata (Bh.XI.8)
WEDA sebagai kitab suci merupakan pedoman hidup bagi setiap umat Hindu untuk mewujudkan kehidupan Moksartham jagadhitaya ca iti dharma. Sebagaimana halnya seorang pilot pesawat udara, maupun nahkoda kapal laut, menjadikan sebuah kompas sebagai pedoman untuk menentukan arah tujuan ke suatu tempat dengan aman dan selamat. Sebaliknya apabila pedoman tadi diabaikan, dapat dipastikan manusia akan kehilangan arah dan tujuan. Sesuatu yang baik dan benar dilaksanakan dengan sadar dan sungguh-sungguh akan berpahala kebahagiaan, dan apabila tidak dilaksanakan akan berpahala penderitaan. 

Hindu mengajarkan banyak cara dan jalan untuk mewujudkan kebahagiaan dalam hidup. Salah satu cara dan jalan tersebut adalah dengan mengucapkan Japa Mantra. Menurut Agni Purana sebagaimana dikutif oleh Sadguru Sant Keshavadas memberikan batasan pengertian Japa yaitu berasal dari suku kata “ja” artinya menghancurkan kelahiran dan kematian dan suku kata “pa “artinya menghancurkan semua dosa. Jadi japa adalah menghancurkan semua dosa dan meniadakan lingkaran kelahiran kematian serta membebaskan jiwa dari keterikatan duniawi. Japa juga berarti pengulangan mantra yang bersifat pikiran/mental. 

Mantra merupakan unsur terpenting dalam agama Hindu, karena setiap ada upacara keagamaan maupun sembahyang pasti akan terdengar mantra. Mengapa mantra merupakan unsur terpenting dalam agama Hindu? Jawabannya, karena mantra tersebut sangat diyakini mengandung kekuatan suci dan gaib. Konsep spiritual, mantra berasal dari kata “man “ dan “yantra “, yang artinya alat untuk melindungi pikiran. Pengucapan mantra bertujuan untuk melindungi pikiran dari berbagai macam godaan. Pikiran yang terlindungi dari kegiatan-kegiatan negatif akan dapat selalu diarahkan untuk memikirkan hal-hal yang bermanfaat dan senantiasa berjalan pada dharma, sehingga seseorang dengan cepat mendapatkan pencerahan spiritual. 
Pengertian mantra yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai jampi yang kalau diucapkan dengan tekanan yang benar akan memberikan hasil untuk realisasi rohani atau keinginan keduniawian untuk kesejahteraan maupun kehancuran seseorang, tergantung dari motif untuk apa mantra itu diucapkan. Jadi Japa Mantra adalah pengulangan nama –nama Tuhan atau aksara-aksara Suci. 
Ada dua cara pengucapan japa yaitu dengan wacika / oral dan manacika pikiran/mental. Di dalam wacika terdapat dua macam, yang pertama Waikhari, dimana mantra-mantra diulang dengan gerakan bibir dan mengeluarkan suara, kedua Upamsu, mantra diulang-ulang dengan gerakan bibir tetapi tanpa mengeluarkan suara. Japa secara manasika adalah mantra diulang-ulang yang bersifat pikiran (japa mental). Dari berbagai methode pengulangan mantra, japa mental inilah yang dianggap paling mulia. Manu bersabda : “ Wacika sepuluh kali lebih bermanfaat dari kurban-ritualistik. Upamsu-japa adalah seratus kali lebih baik dan japa mental adalah seribu kali pahalanya. 
Untuk pemula, japa mental (manasika) memang sulit. Untuk menghancurkan kemalasan (guna tamas), seseorang harus mengikuti wacika japa, membersihkan nafsu ( guna rajas), seseorang harus melatih Upamsu. Dia yang pikirannya telah damai atau dipenuhi guna sattwam melakukan manasika japa. Tentu saja seseorang yang telah mencapai kesempurnaan bisa saja mempergunakan yang mana saja, tetapi bagi yang baru mulai, sebaiknya disiplin di atas ini diikuti dengan tetap melihat desa kala dan patra ( tempat, waktu dan keadaan) 
Untuk mendapatkan manfaat yang lebih tinggi dari japa mantra, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipersiapkan seperti faktor lingkungan, cara penggunaan japa-mala (tasbih), mantra yang digunakan untuk japa. Beberapa persyaratan ini diperlukan dan harus diperhatikan, mengingat yang diucapkan adalah mantra-mantra suci weda agar seseorang cepat memasuki tahap meditasi. 

SURYA NAMASKAR

One of the most famous yogic Asana is the Surya Namaskar which is a salutation to the sun. This Asana is performed generally at the time of sunrise, which according to the “Vedas” is considered to be the most ’spiritually favourable’ time of the day. You must always practice this Asana on a mat and not on the floor. 
The Surya Namaskar Asana is a series of various postures and breathing exercise. It is a whole workout in itself. A Surya Namaskar is done in the following way:
 In the first step, you should stand on a mat on the floor with your face in the direction of the sun. Both of your feet should be touching each other. Then, close your palms together at the level of the heart like when you say “Namaste”. Then, inhale and raise your arms with palms still in closed position, above your head and slowly bend backwards while bending your backbone backwards. 
In the third step, exhale slowly and bend forward while trying to touch the earth. Bend forward until your hands are in line with the feet and your head is touching your knees. 
Then, inhale and move your right leg back away from the body in a wide backward step. Put your hands and feet firmly on the ground, with the left foot between your hands and raise your head.
Stay in this position for few seconds and exhale. Then bring your left foot together with the right. Keep your arms straight and raise your hips and align your head with your arms, and try to form an arch.  Stay this way for few seconds and exhale. Then, lower your body to the floor until your feet, knees, hands, chest, and forehead are all touching the floor. Take a deep breath and raise your head upwards and bend backward as much as possible while keeping the rest of your body on the floor.  Then exhale and bring your left foot together with the right. Keep your arms straight, raise your hips and align the head with the arms, forming an upward arch. Again, take a deep breath and move your right leg backwards in a wide backward step. While keeping your hands and feet firmly on the ground, put your left foot between you hands and raise your head upwards. Then stand up straight and repeat the third step which is to exhale and touch your feet with your fingers while trying to bend as much as you can without bending your feet. Then repeat the second step, which is to inhale and close your palms near your heart and raise them above your head. Still in the same position, bend backwards as much as you can. And then go back to the first step which is to stand straight with both feet touching and palms closed like you are saying “Namaste”. 
Sumber: www.trainyoga.com 

YOGA ASANAS

Ribuan tahun yang lalu, para Yogi bermeditasi di hutan-hutan dan di gunung-gunung Himalaya dan dengan hati-hati memperhatikan binatang-binatang liar yang menyertai kesendirian mereka. Melalui pengamatan yang dalam, mereka mulai menemukan teknik-teknik yang telah diberikan oleh Alam ke dalam ciptaanNya untuk menjaga mereka agar tetap sehat, lincah dan waspada. Mereka telah menemukan bagaimana berbagai binatang secara instingtif menyembuhkan diri mereka sendiri, rileks, tidur dan tetap terjaga. Yogi-yogi ini bereksperimen dengan postur-postur hewan pada tubuh mereka sendiri dan setelah melalui banyak penyesuaian kembali melalui intuisi yang dalam, mereka akhirnya menciptakan sebuah rangkaian latihan fisik yang sistimatis yang dinamakan Asana. Banyak asana yang setelah ditemukan dinamai sesuai dengan nama binatang yang menginspirasikan mereka: Kobra, Belalang, Merak, Ikan, Dsb.
Asana secara harafiah berarti “ Gaya tubuh yang ditahan secara nyaman”. Selama gerakan-gerakan ini, tubuh tetap berada dalam keadaan efisiensi yang terrileksasi dan pernafasan yang dalam yang secara alamiah menyertai postur-postur ini membawa oksigen yang akan diserap ke dalam aliran darah. Asana mempengaruhi setiap aspek dari badan manusia; mereka merilekskan dan membentuk otot-otot dan sistim saraf, meregangkan ligamen-ligamen dan tendon-tendon yang kaku, melenturkan persendian dan memasage organ-organ internal.
Para Yogi menemukan bahwa simponi tubuh yang kompleks dikendalikan oleh kelenjar-kelenjar. Substansi-substansi kimia yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar ini oleh para ilmuwan dinamakan ‘Hormon’. Hormon mempunyai efek yang mendasar bagi fungsi-fungsi fisik dan mental; pertumbuhan, pencernakan, tingkat energi, emosi, dsb. Contohnya, thyroxine dosis tinggi, sekresi dari kelenjar thyroid, menjadikan orang yang sangat normal menjadi gugup dan mudah marah.
Psikologi Yogik telah dapat menggambarkan ke 50 kecenderungan (vrtii) dari pikiran manusia; rasa takut, malu, marah dsb., yang ditentukan oleh sekresi-sekresi kelenjar-kelenjar yang tersebar disekitar ketujuh pusat-pusat psikis atau cakra di sepanjang tulang belakang. Kelelahan mental adalah diakibatkan oleh efek yang mengacaukan dari kecenderungan-kecenderungan ini yang mencari ekspresi melalui berbagai aksi sehingga mengakibatkan ketidakseimbangan di dalam pikiran. Karena kecenderungan-kecenderungan ini diciptakan atau dirangsang oleh hormon-hormon yang dihasilkan oleh kelenjar-kelenjar, orang dapat menyetel ekspresi-ekspresi ini sehingga menyeimbangkan pikiran dengan penyeimbangan sekresi-sekresi glandular tersebut.
Selama Asana, postur-posturnya ditahan tak bergerak selama jangka waktu tertentu dan memberikan tekanan kepada kelenjar-kelenjar target sehingga menyeimbangkan sekresi-sekresi mereka. Selain mencegah penyakit dan menjaga tubuh agar tetap fleksibel, asana menyeimbangkan dan mengontrol vrtii seseorang yang sedang bermasalah secara bergantian dan secara bertahap pikiran akan menjadi tenang dan terpusat.
Jadi, untuk orang yang berlatih meditasi, latihan secara teratur asana adalah penting sekali. Sejalan anda menjelajahi keluasan pikiran anda selama meditasi, anda akan mulai merasakan kebutuhan untuk memiliki tubuh yang sehat bagi kesadaran anda yang selalu berkembang tersebut. Tubuh fisik bukanlah sesuatu yang berbeda dan terpisah dari pikiran; tubuh fisik sebenarnya adalah lapisan pikiran yang paling luar dan merupakan ‘Dasar’ bagi meditasi. Sebuah pelatihan Yoga yang lengkap membutuhkan sebuah sistim latihan (Asana) yang berguna untuk membersihkan dan memurnikan tubuh fisik dan untuk mengarahkan pikiran menuju usaha total untuk mencapai Kesadaran Universal.

MENGOSONGKAN PIKIRAN SEPENUHNYA

Meditasi tak pernah merupakan pengendalian jasad. Tidak ada perbedaan aktual antara organisme dengan batin. Otak, sistem syaraf, beserta semua yang kita sebut batin, satu kesatuan adanya, tak terpisahkan. Tindakan alamiah dari meditasilah yang menghadirkan gerakan harmonis dari semua itu.
 Memisahkan jasad dari batin dan mengendalikan jasad ini menggunakan keputusan-keputusan intelektual, menghadirkan kontradiksi; daripadanya terbit beraneka bentuk perlawanan, konflik dan resistensi. Setiap keputusan untuk mengendalikan hanya akan melahirkan resistensi, bahkan tekad untuk itupun mesti diwaspadai. Oleh karenanya meditasi disini adalah memahami pemisahan yang dibawa oleh keputusan tadi.
 Kebebasan bukanlah tindakan yang berasal dari keputusan melainkan tindakan dari persepsi.  Mengerti adalah melakoni. Ia bukanlah sebentuk niat untuk mengerti, kemudian baru bertindak. Betapapun juga, kehendak adalah keinginan beserta segenap kontradiksi- kontradiksinya. Tatkala seseorang mengambil otoritas dari orang lain, keinginan itu menjadi kehendak. Di dalamnya, tak terhindari lagi adanya pemisahan.
 Disinilah tampak jelas kalau meditasi adalah memahami keinginan, bukan mengatasi sebentuk keinginan dengan keinginan lainnya. Keinginan adalah pergerakan sensasi, yang akan menjadi kesenangan dan ketakutan. Dan ini akan tetap bertahan dengan terus-menerus bercokolnya pemikiran akan yang satu atau sebaliknya. Meditasi adalah mengosongkan pikiran sepenuhnya.
 Dari: “Beginnings of Learning”; cuplikan dari Krishnamurti Foundation of America.

SADHANA CHATUSHTAYA

Jñana Yoga dari Brahma Vidya atau pengetahuan Diri-Jati bukanlah pelajaran yang bisa dimengerti dan direalisasikan melalui pembelajaran
intelektual, penalaran, rasiosinasi, melalui diskusi ataupun argumentasi-argumentasi. Ia adalah pengetahuan yang tersulit di antara semua pengetahuan
   
Oleh karenanya, seorang siswa yang menyusuri jalan Kesujatian, pertama-tama harus memperlengkapi dirinya dengan Sadhana Chatushtaya
—"empat daya pembebas". Mereka adalah daya pemilah-milah, ketidak-gemaran atau ketidak-terikatan, enam sekawan sifat-sifat
luhur, dan hasrat yang kuat akan kebebasan —Viveka, Vairagya, Shad-Sampat dan Mumukshutva. Hanya sesudahnyalah ia akan bisa
melangkah ke depan di jalur ini dengan tegap, tanpa rasa takut. Tak ada kemajuan spiritual sekecil apapun yang dimungkinkan kecuali
seseorang telah terberkati dengan keempat kwalifikasi ini.
   
Keempat daya pembebas ini setua Veda-veda dan dunia ini sendiri. Setiap agama menyodorkannya sebagai resep; sebutannya boleh saja
berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun intinya tetap sama karena ia bersifat immaterial. Hanya orang-orang bodoh sajalah yang
punya kebiasaan yang tidak diinginkan berupa merisaukan urusan lingual serta mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan yang tak perlu. Jangan
pedulikan mereka. Adalah kewajiban Anda untuk makan buah dan bukannya membuang-buang waktu untuk menghitung-hitung daun dari pohonnya.
Sekarang cobalah memahami keempat daya pembebas yang esensial ini.  
   
Viveka adalah daya pemilah-milah antara yang sejati dan yang semu, antara yang permanen dan yang impermanen, antara Sang Diri dan
bukan-diri. Viveka diturunkan kepada seseorang melalui anugrah Tuhan. Dan anugrah itu sendiri diturunkan hanya sesudah orang itu tak
henti-hentinya melaksanakan pelayanan tanpa pamerih di dalam tak terhitung kelahiran, dengan anggapan bahwa ia hanyalah sebuah
instrumen di tangan Tuhan, dimana segenap karyanya itu adalah persembahannya kepada Tuhan. Pintu menuju derajat batiniah yang lebih
tinggi terbuka lebar manakala ada kebangkitan daya pemilah-milah ini.
   
Ada suatu keabadian, prinsip yang tiada berubah di tengah-tengah fenomena yang senantiasa berubah-ubah dari semesta raya dan
gerakan-gerakan yang cepat serta pusaran-pusaran dari pikiran ini.  Sang penekun juga harus memisahkan-dirinya dari `enam gelombang
samudra Samsara'—kelahiran dan kematian, lapar dan haus, serta kegembiraan dan kesedihan. Kelahiran dan kematian milik tubuh fisikal
ini; lapar dan haus adalah milik dari Prana, daya vital; kegembiraan dan kesedihan adalah milik dari duet pikiran-perasaan. Sang Jiva tiada
melekat. `Keenam gelombang' itu tak bisa menyentuh Brahman, yang sehalus ether yang menyusupi segalanya. 
   
Guyub dengan para suciwan (satsanga) dan pembelajaran pustaka-pustaka Vedantik akan mencurahkan daya pemilah-milah. Viveka
haruslah dikembangkan hingga derajat maksimum. Seseorang mesti mantap betul di dalamnya. 
   
Vairagya adalah ketidak-terikatan pada kesenangan-kesenangan duniawi pun surgawi. Vairagya yang lahir dari Viveka tahan selamanya. Ia tidak
akan memerosotkan sang penekun. Akan tetapi, Vairagya kepada wanita yang datang sementara saat ia melahirkan atau manakala menghadiri
kremasi misalnya, tidaklah banyak gunanya. Pandangan bahwasanya segala sesuatunya di dunia ini semu adanya, juga menyebabkan sikap
acuh-tak-acuh terhadap kesenangan-kesenangan duniawi dan surgawi. Seseorang mesti kembali lagi ke alam eksitensi ini dari surga, setelah
semua buah dari karma baiknya habis. Makanya mereka tak berharga untuk dikejar. 
   
Vairagya tidaklah berarti bahwa seseorang melalaikan kewajiban-kewajiban sosial dan tanggung-jawabnya pada kehidupan ini.
Ia tidaklah berarti mengabaikan begitu saja dunia ini, untuk kemudian hidup di sebuah goa sunyi di pegunungan Himalaya . Vairagya adalah
pelepasan-mental dari objek-objek duniawi. Seseorang boleh saja tetap tinggal di dunia dan terlibat di dalam semua kewajiban-kewajiban tanpa
terikat. Ia bisa saja seorang perumahtangga dari sebuah keluarga besar, sementara pada saat yang bersamaan sempurna pelepasan-mentalnya
terhadap segala sesuatu. Ia mampu melakoni sadhana spiritual ditengah-tengah aktivitas-aktivitas duniawinya. Ia yang sempurna
pelepasan-mentalnya di dunia ini, benar-benar seorang pahlawan. Ia lebih mulia dibanding seorang Sadhu yang hidup di goa Himalaya , sejauh
ia setiap saat harus menghadapi tak terhitung banyaknya cobaan di dalam kehidupannya.


Oleh: Sri Swami Sivananda Sarasvati

Tat Twam Asi

Simple faith in the words of the wise is more profitable than years of study and discussion. Contemplate on the Vedic dictum - Tat Twam Asi (You are That). As you ruminate over it, meanings will dawn upon you without the help of any commentary. Commentaries only tend to confuse you. Think of 'Tat' ("That" standing for Divinity), analyse 'Twam' (you), and then you will be convinced that 'Asi' (are) is the only solution. You are in the Light; the Light is in you; you are the Light - these are three successive steps to realisation. 
   
             Bermodalkan keyakinan atas ucapan orang-orang bijaksana akan jauh lebih menguntungkan daripada studi dan diskusi yang dilakukan selama bertahun-tahun. Coba renungkanlah salah-satu ungkapan yang terkenal dari kitab Veda, yaitu: Tat Twam Asi (Engkau adalah Dia). Semakin anda merenungkannya, maka pengertiannya akan semakin bertambah jelas bagimu walaupun tanpa komentar/penjelasan tambahan. Komentar atau penjelasan tambahan itu hanya cenderung akan semakin membingungkanmu. Cobalah memikirnkan tentang 'Tat' ("Tat atau That atau Dia" adalah Divinity), lakukan analisa terhadap 'Twam' (Engkau), dan selanjutnya anda akan menjadi yakin bahwa 'Asi' (adalah) satu-satunya solusi  yang ada. Engkau berada di dalam cakupan cahaya; Cahaya berada di dalam dirimu; dan engkau adalah cahaya itu sendiri - inilah ketiga langkah bertahap untuk menuju realisasi (pencerahan) .

Agni Hotra

Agni Hotra Harus Dipahami Secara Tattwa

Oleh Ida Pedanda Gede Mas Diatmika

Sampai saat ini umat Hindu di Bali masih melaksanakan upacara Agni Hotra, hanya saja bentuknya lain, misalnya mempergunakan pasepan, dupa dan sebagainya. 
Mengapa Agni Hotra di Bali "diringkes"? Dulu, upacara Agni Hotra pernah menimbulkan kebakaran besar, akhirnya raja memerintahkan agar Agni Hotra ditiadakan atau diringkes. 
Upacara Agni Hotra adalah ajaran Weda yang selama ini kurang mendapat perhatian dari kalangan umat Hindu di Indonesia pada umumnya dan di Bali pada khususnya. Mengapa? Banyak yang melihat upacara ini cukup membahayakan lingkungan sekitarnya. Ancaman bahaya selalu membayang-bayangi. Atas dasar itulah upacara Agni Hotra ini kemudian diringkes atau diperkecil dengan bentuk pasepan, dupa dan sebagainya.
Jika kita melihat upacara Agni Hotra dari sudut sastra, upacara ini merupakan salah satu wujud yadnya yang dipersembahkan kepada Dewa Agni (Dewa Api - red) karena Dewa Agni diyakini mempunyai kekuatan yang tidak bisa dilepaskan dalam kehidupan sehari-hari manusia. Dalam kekuatan Sanghyang Agni ada sinar dari Ida Sanghyang Widhi Wasa. Bahkan wujud dari Tuhan atau sinar dari Sanghyang Widhi Wasa itu berupa Sanghyang Raditya, Sanghyang Surya yang semuanya itu adalah wujud dari sumber energi yang sangat diperlukan oleh kehidupan umat manusia dijagat raya ini. 
Berdasarkan konsep-konsep itulah Hindu memandang upacara Agni Hotra ini begitu penting. Malahan Weda menganjurkan agar umat senantasa melakukan Agni Hotra ini secara kontinyu pada hari-hari tertentu. Jadi, dasar pijakan upacara ini sangat jelas yakni Weda yang merupakan kitab suci Hindu. 
Namun dalam kenyataannya, masih ada umat Hindu yang masih merasakan ewuh pakewuh melaksanakan upacara Agni Hotra. Perasaan seperti ini berkembang karena umat Hindu kurang memahami hakikat dan nilai-nilai yang terkandung dalam Agni Hotra. baik secara tattwa maupun nilai filosofinya. 
Demikian dikatakan Ida Peranda Gede Mas Diatmika dari griya Perean, Kediri , Tabanan baru-baru ini saat Mingguan BaliAga tangkil sekalian melakukan diskusi terbuka seputar makna dan nilai filosofi upacara Agni Hotra itu. Dikatakan Ida Ratu Peranda, di sisi lain harus diakui ada umat Hindu yang tidak tahu tentang upacara ini, karena mereka tidak pernah melaksanakannya. 
Yang menjadi persoalan ke depan terhadap upacara Agni Hotra ini adalah pertumbuhan ekonomi dan teknologi yang begitu pesat. Dimana pertumbuhan ini membuat lingkungan di sekitar kita menjadi rusak. Dalam situasi seperti ini tentu kita akan berfikir melakukan Agni Hotra, karena dinilai kurang bersahabat dengan lingkungannya.
Dijelaskan lebih lanjut Ida Peranda yang juga mantan Kepala Sekolah SD Kediri, Tabanan ini, jika memungkinkan bisa saja Agni Hotra tersebut diadakan, sepanjang diterima umat Hindu setempat dan sesuai dengan desa, kala, patra dari daerah tersebut. 
Tetapi, katanya menambahkan, upacara Agni Hotra tidak hanya penting dan dilaksanakan umat Hindu semata, namun pelaksanaannya juga sudah meluas di kalangan non Hindu. Bahkan dalam Agama Budha ada dikatakan Agni Hotra adalah Yadnya utama dari segala Yadnya. 
Bahkan pelaksanaan Agni Hotra sudah berkembang di luar negeri yang pengikutnya bukan dari kalangan Hindu, ujar Ida Peranda dalam wawancara santainya dengan MBA. Menurut Ratu Peranda, ada alasan prinsip mengapa orang yang pro terhadap Agni Hotra patut dikembangkan dan dilaksanakan lagi pada sekarang ini, mereka menilai, manusia tidak bisa lepas dari penggunaan api sebagai sarana dalam kehidupannya. Kebutuhan manusia adalah makanan, makanan dalam wujud buah-buahan dan sayuran-sayuran memerlukan sinar dalam pertumbuhannya, sedangkan sinar adalah energi dan energi umumnya berasal dari api. 

Sumber: BaliAga