PURA
Besakih, pura terbesar di Bali, memiliki kedudukan amat utama dalam
kehidupan beragama Hindu di Bali. Pura tempat dilangsungkannya upacara
Panca Bali Krama tiap 10 tahun dan upacara Eka Dasa Rudra tiap 100
tahun ini memiliki banyak fungsi. Ada lima fungsinya yang paling utama...
Pertama, sebagai huluning Bali Rajya. Dalam
Lontar Padma Bhuwana, Pura Besakih dinyatakan sebagai huluning Bali
Rajya, hulunya daerah Bali. Pura Besakih sebagai kepalanya atau menjadi
jiwanya pulau Bali. Hal ini sesuai dengan letak Pura Besakih di bagian
timur laut Pulau Bali. Timur laut adalah arah gunung dan arah terbitnya
matahari dengan sinarnya sebagai salah satu kekuatan alam ciptaan Tuhan
yang menjadi sumber kehidupan di bumi. Pura Besakih adalah hulunya
berbagai pura di Bali.
Pura Penataran Agung hulunya Pura Desa
di desa pakraman. Pura Basukian hulunya Pura Puseh, Pura Dalem Puri
hulunya Pura Dalem di tiap desa pakraman di Bali. Pura Pesimpangan
dengan Pelinggih Limas Catu yaitu Pelinggih Gedong dengan.atapnya
lancip sebagai hulunya palinggih Pesimpangan Besakih yang umumnya ada
di tiap merajan gede keluarga di Bali. Pura Ulun Kulkul hulunya kulkul
di Bali. Pura Jenggala hulunya Pura Prajapati di Bali. Demikian
seterusnya, berbagai kompleks di Pura Besakih sebagai hulu berbagai
pura di Bali.
Kedua, Pura Besakih sebagai pura
Rwa Bhineda. Dalam konsep Rwa Bhineda, Tuhan dipuja sebagai pencipta
dua unsur alam semesta yaitu unsur purusa dan unsur pradana. Purusa
artinya jiwa, pradana artinya badan material. Semua makhluk hidup
tercipta dari dua unsur tersebut. Demikian juga alam semesta berputar
sesuai dengan hukum alam (rta) karena adanya dua unsur tersebut. Tuhan
sebagai jiwa alam semesta disebut Brahman. Sedangkan Tuhan sebagai jiwa
makhluk hidup disebut Atman.
Pura yang tergolong pura Rwa
Bhineda adalah Pura Besakih sebagai Pura Purusa dan Pura Batur sebagai
Pura Pradana. Kalau purusa kuat bertemu dengan pradana maka pencitaan
akan terus berlanjut dengan baik. Pemujaan Tuhan di Pura Purusa dan
Pradana untuk memotivasikan umat manusia agar mengupayakan kehidupan
yang seimbang antara kehidupan mental spiritual dan kehidupan fisik
material.
Bangunan yang paling utama di Pura Besakih adalah
Pelinggih Padma Tiga yang terletak di Penataran Agung. Pelinggih Padma
Tiga itu terdiri atas tiga bangunan berbentuk padmasana berdiri di atas
satu altar. Di Pelinggih Padma Tiga ini, menurut Piagam Besakih, Tuhan
dipuja sebagai Sang Hyang Tri Purusa (Tiga Manifestasi Tuhan sebagai
jiwa alam semesta). Tri artinya tiga dan purusa artinya jiwa. Tuhan
sebagai Tri Purusa adalah jiwa agung tiga alam semesta. Sebagai jiwa
Bhur Loka alam bawah Tuhan disebut Siwa atau Iswara. Sebagai jiwa dan
alam tengah atau Bhuwah Loka, Tuhan disebut Sadha Siwa dan sebagai jiwa
agung alam atas atau Swah Loka; Tuhan disebut Parama Siwa atau
Parameswara.
Bangunan padma paling kanan sebagai sarana memuja
Sang Hyang Parama Siwa yaitu Tuhan sebagai jiwa Swah Loka. Bangunan ini
biasa dihiasi busana hitam. Karena, alam yang tertinggi (swah-loka) tak
terjangkau sinar matahari, sehingga berwarna hitam. Warna hitam dalam
konsep Tri Murti sesungguhnya hijau simbol Dewa Wisnu. Bangunan padma
yang terletak di tengah adalah lambang pemujaan terhadap Sang Hyang
Sadha Siwa, artinya, Tuhan yang menjiwai Bhuwah Loka (alam tengah)
dengan busana putih. Warna putih adalah lambang akasa atau alam
atmosfis.
Bangunan padma bagian kiri lambang pemujaan Sang
Hyang Siwa yaitu Tuhan Sebagai Jiwa Bhur Loka dengan busananya merah.
Di Bhur Loka inilah Tuhan meletakkan ciptaan-Nya berupa stavira
(tumbuh-tumbuhan), janggama (hewan) dan manusia. Pelinggih Padma Tiga
sebagai sarana pemujaan Tuhan sebagai jiwa Tri Loka (Bhur Loka, Bhuwah
Loka dan Swah Loka). Hal ini menyebabkan Pura Besakih sebagai Pura
Purusa dalam konsep Pura Rwa bhineda. Purusa dan pradana sering
dipersepsikan dalam posisi laki dan perempuan atau positif dan negatif.
Dalam konsepsi Rwa-bhineda, Pura Besakih sebagai Pura Purusa sedangkan
Pura Batur sebagai Pura Predana.
Ketiga,
sebagai pura Sad Winayaka. Pura yang didirikan berdasarkan konsepsi Sad
Winayaka itu melahirkan Pura Sad Kahyangan di Bali. Sedikitnya ada
sembilan lontar yang menyatakan keberadaan Sad Kahyangan di Bali itu
berbeda-beda. Namun, Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama
Hindu menetapkan Sad Kahyangan yang dijadikan pegangan di Bali adalah
menurut Lontar Kusuma Dewa. Alasannya, Sad Kahyangan itu dibangun saat
Bali masih satu kerajaan. Setelah Bali menjadi sembilan kerajaan,
masing-masing kerajaan memiliki sad kahyangan menurut pandangan
masing-masing kerajaan. Hal itu tidak keliru karena itu merupakan
kedaulatan masing-masing kerajaan. Pendirian Pura Sad Kahyangan itu
untuk memotivasikan umat secara spiritual agar melestarikan Sad Kertih
yaitu Atma Kertih (penyucian jiwa Atman), Samudra Kertih (menjaga
kelestarian laut), Wana Kertih (menjaga kelestarian hutan), Danu Kertih
(menjaga kelestarian sumber-sumber air), Jagat Kertih (menjaga kualitas
kehidupan bersama yang dinamis harmonis dan produktif), Jana Kertih
(menjaga kehidupan individual yang berkualitas).
Keempat,
sebagai pura Padma Bhuwana sebagaimana telah dinyatakan, Bali sebagai
Padma Bhuwana oleh Mpu Kuturan. Artinya Bali sebagai simbol alam
semesta stana Tuhan Yang Mahaesa. Keberadaan Tuhan di seluruh alam
semesta ini di Bali divisualisasikan ke dalam wujud sembilan pura yang
ada di sembilan penjuru angin Pulau Bali. Seluruh penjuru alam semesta
itu adalah sembilan arah yaitu di Timur Laut, Timur, Tenggara, Selatan,
Barat Daya, Barat, Barat Laut, Utara dan Tengah. Pura yang didirikan di
sembilan arah mata angin itu melambangkan bahwa Tuhan itu ada di
mana-mana. Tidak ada bagian alam ini tanpa kehadiran Tuhan.
Kelima,
sebagai lambang Alam Bawah dan Alam Atas. Pura Besakih adalah simbol
alam semesta. Kompleks pura di Luhuring Ambal-Ambal lambang alam atas
(Sapta Loka). Kompleks pura di Soring Ambal-Ambal adalah lambang Alam
Bawah (Sapta Patala). Pura Besakih sebagai lambang bhuwana
divisualisasikan dalam berbagai dimensi alam semesta. Ada yang
divisualisasikan sebagai Ider Bhuwana, Tri Bhuwana dan Sapta Loka.
Sumber: Koran Tokoh No.533/Tahun X, 29 Maret - 4 April 2009, oleh I Ketut Wiana.
Sumber: Koran Tokoh No.533/Tahun X, 29 Maret - 4 April 2009, oleh I Ketut Wiana.