*OM SWASTIASTU* selamat datang di website ikatan keluarga besar trisakti hindu

Live From Twitterland

   

TUJUAN PERKAWINAN MENURUT HINDU

1.Pengertian tentang Hukum Hindu
Hukum adalah kaidah (aturan) yang telah ditetapkan oleh agama yg diyakininya khususnya dalam hal ini adalah agama Hindu karena kontekstualnya kita akan membicarakan Hindu.
Hukum ini mutlak harus dipatuhi, sebagai panduan didalam mengatur tata hidup, baik dalam kehidupan individu, keluarga dan masysrakat pada umumnya. Menurut agama Hindu banyak sekali sumber sumber hukum yang dipakai sebagai rujukan dalam usaha mencari penyelesaian permasalahan yang dihadapi, sesuai dengan kontek-nya.
Adapun sumber sumber hukum menurut Hindu ada yg tertulis maupun yg tidak tertulis, Hukum hukum Hindu yang tertulis sering disebut dengan sastra dresta yg banyak sekali sastra – sastra hindu yg mengatur tentang hal ini, salah satu contoh adalah Manawa Darma sastra, Palasara sastra, dsbnya sedangkan yg tidak tertulis disebut dengan Loka dresta dan atmanastuti (yang merupakan mufakat yg terbaik merupkan bisamaorang banyak dilingkungan sekitarnya)
Ingat Hukum adalah merupakan product jaman, sudah pasti hukum itu akan menyesuai kan diri sesuai dgn tuntutan jaman, oleh karena itulah undang undang (hukum itu) perlu adanya suatu revisi.
Berbeda dengan Veda-Wahyu sabda tuhan: tak pernah berawal dan berakhir selalu relevant sepanjang jaman.
2.Pengertian   pawiwahan
Dari sudut pandang etimologi atau asal katanya, kata pawiwahan berasal dari kata dasar “ wiwaha”. Dalam 
Kamus Bahasa Indonesia disebutkan bahwa kata wiwaha berasal dari bahasa sansekerta yang berarti pesta pernikahan; perkawinan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997:1130).
Pengertian   pawiwahan secara semantik dapat dipandang dari sudut yang berbeda beda sesuai dengan pedoman yang digunakan. Pengertian   pawiwahan tersebut antara lain:
a.        Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1  dijelaskan pengertian perkawinan yang berbunyi:
“Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa.
b.       Hukum Perdata
Dalam Buku Pokok Pokok Hukum Perdata dijelaskan tentang definisi perkawinan sebagai berikut: ‘Perkawinan ialah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama”(Subekti, 1985: 23).
c.        Menurut Wirjono Projodikoro,
Perkawinan merupakan hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita, untuk hidup bersama dengan kekal yang diakui Negara (Sumiarni, 2004: 4).       
d.       Menurut Harry Elmer Barnes - Sosiology
Dipandang dari segi sosial kemasyarakatan tersebut maka Harry Elmer Barnes mengatakan Perkawinan ( wiwaha) adalah sosial institution atau pranata sosial yaitu kebiasaan yang diikuti resmi sebagai suatu gejala-gejala sosial. Tentang pranata sosial untuk menunjukkan apa saja bentuk tindakan sosial yang diikuti secara otomatis, ditentukan dan diatur dalam segala bentuk untuk memenuhi kebutuhan manusia, semua itu adalah institution (Pudja, 1963: 48).
e.       Menurut Ter Haar - Scientist
Ter Haar menyatakan bahwa perkawinan itu menyangkut persoalan kerabat, keluarga, masyarakat, martabat dan pribadi dan begitu pula menyangkut persoalan keagamaan Dengan terjadinya perkawinan, maka suami istri mempunyai kewajiban memperoleh keturunan yang akan menjadi penerus silsilah orang tua dan kerabat.
f.       Hukum Adat
Perkawinan menurut hukum Adat tidak semata-mata berarti suatu ikatan antara pria dengan wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga, tetapi juga berarti suatu hubungan hukum adat yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan pihak suami. Bukan itu saja menurut hukum adat, perkawinan dilaksanakan tidak hanya menyangkut bagi yang masih hidup tapi terkait pula dengan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu dalam setiap upacara perkawinan yang dilaksanakan secara Adat mengunakan sesaji-sesaji meminta restu kepada leluhur mereka (Sumiarni, 2004:4). 
g.     Kesatuan Tafsir Agama Hindu
Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I-XV dijelaskan bahwa “perkawinan ialah ikatan sekala  niskala  (lahir bathin) antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal (satya alaki rabi) “(Parisada Hindu Dharma Pusat, 1985: 34).
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa: Pawiwahan adalah ikatan lahir batin (skala dan  niskala) antara seorang pria dan wanita untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal yang diakui oleh hukum Negara, Agama dan Adat.
3.Tujuan perkawinan / pawiwahan menurut Hindu
Pada dasarnya manusia selain sebagai mahluk individu juga sebagai mahluk sosial, sehingga mereka harus hidup bersama-sama untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Tuhan telah menciptakan manusia dengan berlainan jenis kelamin, yaitu pria dan wanita yang masing-masing telah menyadari perannya masing-masing.
Telah menjadi kodratnya sebagai mahluk sosial bahwa setiap pria dan wanita mempunyai naluri untuk saling mencintai dan saling membutuhkan dalam segala bidang. Sebagai tanda seseorang menginjak masa ini diawali dengan proses perkawinan. Perkawinan merupakan peristiwa suci dan kewajiban bagi umat Hindu karena Tuhan telah bersabda dalam Manava dharmasastra IX. 96 sebagai berikut:
            “Prnja nartha striyah srstah samtarnartham ca manavah
            Tasmat sadahrano dharmah crutam patnya sahaditah”, 
Artinya:
“Untuk menjadi Ibu, wanita diciptakan dan untuk menjadi ayah, laki-laki itu diciptakan. Upacara keagamaan karena itu ditetapkan di dalam Veda untuk dilakukan oleh suami dengan istrinya (Pudja dan Sudharta, 2002: 551).
Menurut I Made Titib dalam makalah “Menumbuhkembangkan pendidikan agama pada keluarga” disebutkan bahwa tujuan perkawinan menurut agama Hindu adalah mewujudkan 3 hal yaitu:
a.        Dharmasampati, kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakan Dharma yang meliputi semua aktivitas dan kewajiban agama seperti melaksanakan Yajña sebab di dalam grhastalah aktivitas Yajña  dapat dilaksanakan secara sempurna.
b.        Praja, kedua mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur. Melalui Yajña  dan lahirnya putra yang suputra seorang anak akan dapat melunasi hutang jasa kepada leluhur (Pitra rna), kepada Deva (Deva rna) dan kepada para guru (Rsi rna).
c.         Rati, kedua mempelai dapat menikmati kepuasan seksual dan kepuasan-kepuasan lainnya (Artha dan kama ) yang tidak bertentangan dan berlandaskan Dharma.
Lebih jauh lagi sebuah perkawinan ( wiwaha) dalam agama Hindu dilaksanakan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.  Sesuai dengan undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 1 yang dijelaskan bahwa perkawinan dilaksanakan dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( rumah tangga) yang bahagia dan kekal maka dalam agama Hindu sebagaimana diutarakan dalam kitab suci Veda perkawinan adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam hidup manusia. Hal tersebut disebutkan dalam kitab Manava Dharmasastra IX. 101-102  sebagai berikut:
            “Anyonyasyawayabhicaroghaweamarnantikah,
             Esa dharmah samasenajneyah stripumsayoh parah”, Artinya:
“Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini harus dianggap sebagai hukum tertinggi sebagai suami istri”.
            “Tatha nityam yateyam stripumsau tu kritakriyau,
           Jatha nabhicaretam tau wiyuktawitaretaram”, Artinya:
“Hendaknya laki-laki dan perempuan yang terikat dalam ikatan perkawinan, mengusahakan dengan tidak jemu-jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan hendaknya melanggar kesetiaan antara satu dengan yang lain” (Pudja, dan Sudharta, 2002: 553).
Berdasarkan kedua sloka di atas nampak jelas bahwa agama Hindu tidak menginginkan adanya perceraian. Bahkan sebaliknya, dianjurkan agar perkawinan yang kekal hendaknya dijadikan sebagai tujuan tertinggi bagi pasangan suami istri. Dengan terciptanya keluarga bahagia dan kekal maka kebahagiaan yang kekal akan tercapai pula. Ini sesuai dengan ajaran Veda dalam kitab Manava Dharma sastra III. 60, sebagai berikut:
            “Samtusto bharyaya bharta bharta tathaiva ca,sminnewa kule nityam kalyanam tatra wai dhruwam”, Artinya:
“Pada keluarga dimana suami berbahagia dengan istrinya dan demikian pula sang istri terhadap suaminya, kebahagiaan pasti kekal”  ( Pudja dan Sudharta, 2002: 148).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tujuan  wiwaha menurut agama Hindu adalah mendapatkan keturunan dan menebus dosa para orang tua dengan menurunkan seorang putra yang suputra sehingga akan tercipta keluarga yang bahagia di dunia (jagadhita) dan kebahagiaan kekal (moksa).
Perkawinan menurut hindu sangat dimuliakan, karena dalam setiap perkawinan dipandang sebagai suatu jalan untuk melepaskan derita orangtuanya, (leluhurnya) diwaktu mereka telah meninggal. Karena itu perkawinan dan dilahirkannya anak (suputra) merupakan perintah agama yang dimuliakan. Dengan dilahirkan nya anak dipandang sebagai jalan untuk menebus hutang (Rna) dan pelaksanaan perkawinan adalah dharma ( kewajiban ) hal ini ditegaskan dalam menawa dharma sastra sebagai berikut.
·   Untuk menjadikan Ibu, maka wanita diciptakannya menjadi IBU dan pria diciptakannya menjadi BAPAK, dan karena itu Weda akan diabadikan oleh dharma yang harus dilakukan oleh wanita – Pria sebagai pasangan suami istri.
·   Hendaknya supaya hubungan yang setia berlangsung sampai mati, singkatnya ini dianggap hukum yang tertinggi sebagai pasangan suami istri. ( Weda Smrti IX.101)
·    Hendaknya laki laki dan perempuan yang terikat dalam tali perkawinan mengusahakan untuk tidak jemu jemunya supaya mereka tidak bercerai dan jangan melanggar kesetiaan antara yang satu dengan yg lainnya. ( Weda Smrti IX.101 )
4.Kesimpulan
Berdasarkan kutipan sloka tersebut diatas jelaslah bahwa perkawinan menurut hukum agama Hindu adalah terbentuknya sebuah keluarga yang berlangsung sekali dalam seumur hidupnya. Keluarga (rumah tangga) bukan semata mata tempat berkumpulnya laki laki dan perempuan sebagai pasangan suami istri dalam suatu rumah, namun sesungguhnya terbinanya suatu kepribadian, ketentraman lahir dan bhatin, hidup rukun, damai dalam upaya menurunkan tunas muda (suputra/suputri).