*OM SWASTIASTU* selamat datang di website ikatan keluarga besar trisakti hindu

Live From Twitterland

   

KITA HANYA MANUSIA

Dalam hidup, berada diatas ataupun dibawah terkadang sama rasanya. Yang sesekali membedakan hanyalah waktu dan kesempatan kita untuk merasakannya. Merasa senang dan bahagia, hampir tidak berbeda dengan ketika kita terserang rasa suntuk maupun sedih. Semua menjadi campur aduk dan berbaur, oleh sikap kita yaitu sikap seorang manusia. Dan tentunya hal ini yang membedakan tanggapnya seseorang dengan yang lain. 

TUJUAN PERKAWINAN MENURUT HINDU

1.Pengertian tentang Hukum Hindu
Hukum adalah kaidah (aturan) yang telah ditetapkan oleh agama yg diyakininya khususnya dalam hal ini adalah agama Hindu karena kontekstualnya kita akan membicarakan Hindu.
Hukum ini mutlak harus dipatuhi, sebagai panduan didalam mengatur tata hidup, baik dalam kehidupan individu, keluarga dan masysrakat pada umumnya. Menurut agama Hindu

BURUNG GARUDA

Putih warna pahanya hingga bagian pusarnya,
Merah warna dadanya hingga batang lehernya"
Gàrudeyamantra, 3-4.
Setiap bulan Agustus, di seluruh Indonesia dan juga pada perwakilan-perwakilan atau Kedutaan Besar R.I di seluruh dunia, bendera merah putih dan berbagai hiasan seperti ider-ider, umbul-umbul merah putih telah berkibar. Merah putih kini berkibar di seluruh pelosok desa dan kota , kantor-kantor pemerintah, swasta, balai pertemuan dan rumah-rumah penduduk. Semuanya ini dilakukan untuk menyambut kemerdekaan Republik Indonesia . Berbagai perayaan mulai digelar untuk peringatannya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, warna merah putih sangat mendominasi perayaan Agustus-an. Merah putih sebagai bendera nasional secara resmi telah berkibar pada saat proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia , puluh-an tahun yang silam dan pastilah bendera nasional ini akan selalu dan selamanya berkibar di atas bumi persada tercinta, Nusantara.
Di samping bendera merah putih, tidak dapat dipisahkan adalah lambang negara Garuda Pancasila. Bagaimanakah burung gagah perkasa ini bisa ditetapkan sebagai lambang negara? Kiranya dalam suasana menyambut dan memeriahkan kemerdekaan Republik Indonesia, kita telusuri kembali makna Garuda yang dikenal pula sebagai burung merah putih baik dalam alam pikiran prasejarah, peninggalan purbakala, dalam karya sastra maupun pandangan hidup bangsa Indonesia di masa yang silam.
Bila kita telusuri peninggalan prasejarah di Indonesia , lukisan burung garuda atau bulu burung garuda dapat ditemukan pada nekara perunggu tipe Pejeng dan cetakan batu dari desa Manuaba. Kecuali burung garuda, pada masa itu telah dikenal pula beberapa jenis burung tertentu seperti enggang dan merak yang dianggap mengandung arti magis-simbolis. Di antara berbagai lukisan burung itu, hiasan burung garuda sangat digemari. Burung garuda adalah burung matahari atau burung rajawali yang dianggap sebagai lambang dunia atas (Sutaba, 1976,14, Van der Hoop, 1949:178). Lukisan atau relief burung garuda dikenal pula pada masa prasejarah India , yakni ditemukannya lukisan di Harappa (lembah sungai Sindhu) berupa gambar seekor burung garuda yang sedang membabarkan sayapnya dan kepalanya berpaling ke arah kiri. Di atas masing-masing sayapnya terdapat beberapa ekor ular. Burung elang atau garuda yang dilukiskan bersama-sama ular merupakan dasar bentuk binatang garuda yang merupakan wahana dewa Viûóu di India, dilukiskan melayang-layang mencucuk seekor ular di paruhnya (Wiryosuparto, 1956: 21). Selanjutnya di dalam Rgveda yang merupakan sumber ajaran agama Hindu dilukiskan berbagai aspek keagungan Tuhan Yang Mahaesa dengan berbagai nama atau wujud seperti Agni, Yama, Varuna, Mitra dan Garutma atau garuda. Kemahakuasaan-Nya bagaikan garuda keemasan yang menurunkan hujan menganugrahkan kemakmuran (Rgveda I.164.46,47,52).
Dalam perkembangan sejarah kebudayaan Indonesia, burung garuda yang terkenal dalam wiracarita Hindu ternyata mempengaruhi kesenian Indonesia (Stutterheim,1926:333), misalnya arca garuda wahana Visnu yang digambarkan sebagai manusia biasa hanya kepalanya diberi bentuk kepala burung(Wiyosuparto,1957: 54). Arca garuda sebagai wahana Visnu yang lain dapat kita ketahui dari gambar sayap burung garuda pada kaki arca Visnu dari candi Banon dan arca garuda mendukung dewa Visnu dari candi Belahan (Kempers,1959: 37,71).
Dalam bentuk pahatan relief dapat kita ketahui dari relief garuda menyembah Visnu yang didukung oleh naga Ananta, salah satu episode dari ceritra Ràmàyana pada relief candi Civa, Prambanan, relief garuda pada candi Kidal, Kedaton dan Sukuh(Ibid,74,97,102). Pada umumnya relief-relief garuda pada candi-candi tersebut mempunyai pertalian yang erat sekali dengan ceritra Amrta (air kehidupan abadi) seperti dilukisakan secara gamblang di candi Kidal yang mengandung magis-simbolis yakni sebagai lambang kalepasan atau kebebasan jiwa dari seseorang yang telah meninggal dunia (Sutaba,1976:4).
Relief garuda pada candi Kedaton, ceritranya hampir sama dengan garuda pada candi Kidal. Pada candi ini kita melihat relief ibu dari Garuda yang bernama dewi Vinata, Garuda sedang menikmati makanan yang diperintahkan oleh ibunya, ia dilarang memakan Brahmana yang masuk kemulutnya (Kempers, 1959:97).
Dalam pelinggalan epigrafis, cap atau stempel Garudamukha pertama kali dipakai oleh Úri Mahàràja Balitung (808-910) yang memerintah di Jawa Tengah. Sejak pertengahan abad X sampai permulaan abad XIII burung garuda dijadikan lencana kepala negara terutama yang sangat terkenal adalah cap Garudamukha yang dipakai oleh Prabhu Airlangga (1016-1042). Cap Garudamukha dipakai tidak saja pada piagam negara melainkan terutama menguatkan surat-surat atau tulisan di atas batu yang dipakai sebagai tanda pemberian tanah kepada Talan oleh Airlangga dalam tahun 1039 dengan dibubuhi cap Garudhamukha itu, anugrah ini dikuatkan lagi oleh raja Jayabhaya yang memerintah Kadiri dalam abad XII. Rupanya terus-menerus sejak Airlangga sampai kepada Kertajaya, raja Kadiri yang paling akhir (1222), Garudamukha dipakai sebagai cap kepala negara. Di antaranya juga oleh raja Jayabhaya yang sampai kini menjadi terkenal namanya sebagai pemegang lambang dan nujum ke arah masa depan (Yamin, 1954:130,134).
Ceritra dan peranan sang Garuda rupanya sangat populer di dalam kesusastraan Jawa Kuno. Hal ini dapat kita ketahui dalam kakawin Ràmàyana, yakni episode Garuda yang gagah perkasa dengan kekuatannya yang dahsyat mampu membebaskan Úri Ràma dan seluruh pengikutnya dari belenggu ikatan naga tali yang dilemparkan oleh putra Ravana bernama Indrajit (Ràm,XXI,149-155).
Di dalam Àdiparva kita jumpai episode kelahiran sang Garuda serta missi yang diembannya untuk membebaskan ibu kandungnya dari perbudakan atau penjajahan yang dilakukan oleh sang Kadru (Àdiparva, VI) sedang di dalam kakawin Bhomàntaka dijelaskan peranan sang Garuda membantu Úri Kåûóa yang bertempur menghadapi raja raksasa yang bernama Bhoma. Garuda dengan kibasan sayapnya menyebabkan terpental dan lepasnya mahkota milik sang Bhoma yang berisi permata ajimat bernama Vijayamàlà. Vijayamàlà ini segera diambil oleh sang Garuda yang menerbangkannya jauh tinggi dan kemudian Sri Kadru berhasil memenggal leher sang Boma, kepalanya dengan wajahnya yang menyeringai jatuh kepangkuan ibu pertiwi (Bhomàntaka,CVIII.1-4). Rupanya episode ini mengilhami para arsitek tradisional Bali (undagi/sangging) untuk menempatkan ukiran Bhoma di atas pintu (ambang) Kori Agung, pintu masuk sebuah pura.
Lebih jauh di dalam kakawin Bhàratayuddha disebutkan bahwa kereta Úri Kåûóa dihiasi bendera (dvaja) berwujud raja burung, yakni Garuda yang seakan-akan berteriak di angkasa diikuti oleh gemuruhnya suara gamelan (IX.10). Pada episode berikutnya dijelaskan gelar perang (formasi menyerang dan bertahan) yang disebut Garudavyùha. Drupada sebagai kepala, paruhnya adalah Arjuna, punggungnya para raja yang dipimpin oleh Yudhistira. Dåûþadyumna dan bala tentaranya sebagai sayap kanan, Bhima mengambil formasi sebagai sayap kiri. Satyaki sebagai ekor burung garuda. Formasi tempur Garudavyùha ini ditiru pula oleh pihak lawan, yakni Kaurava yang dipimpin oleh Suyodhana (XII.6-8).
Di samping dalam karya sastra berbahasa Jawa Kuno tersebut di atas, dalam puja atau stuti dan stava para pandita Hindu di Bali dapat dijumpai sebuah mantra atau stava yang disebut Gàrudeyamantra. Mantra ini pertama kali ditemukan di puri Cakranegara, Lombok dan telah diedit oleh Juynboll (1927) yang dikutip pula oleh Mr.Muhammad Yamin dalam bukunya 6000 Tahun Sang Merah Putih (1954:130). Mantra ini diucapkan oleh para pandita sesaat sebelum menikmati hidangan untuk mencegah racun yang mungkin terdapat dalam makanan tersebut. Berikut dikutipkan terjemahan mantra, tersebut :
"Garuda adalah burung yang sangat berkesan dan menakutkan, giginya tajam, matanya merah. Paruhnya besar dan lehernya panjang, memiliki kecepatan bergerak bagaikan angin 1".
"Kedua lututnya berwarna emas, perutnya berbentuk gunung, lehernya bercahaya bagaikan sinar matahari dan kepalanya nampak seperti cahaya berpijar 2".
"Warna bulunya kuning mengesankan. dari kakinya sampai ke lutut. Warna tubuhnya putih mengesankan dari pahanya sampai ke pusarnya 3".
"Warna merah mengesankan dari hati sampai ke bawah paruh. Warna hitam mengesankan dari paruh sampai bagian atas kepalanya 4" (Hooykaas, 1971:269).
Burung garuda yang dilihat dari penampilannya sesuai terjemahan mantra di atas disebut sebagai burung merah putih yang di dalam bahasa Sanskerta disebut "Sveta-rakta- khagaá", sebagai juga dipopulerkan oleh Prof.Mr.Muhammad Yamin salah seorang dari founding fathers bangsa kita.
Ternyata garuda tidak hanya disebut-sebut dalam karya sastra tetapi menyatu dengan pandangan hidup masyarakat, terutama masyarakat Bali yang beragama Hindu. Dalam arsitektur tradisional Bali, burung garuda juga di tempatkan di belakang bangunan suci Padmàsana, Gedong Bata, Bade (menara pengusung jenasah dalam upacara Ngaben), pada "tugeh" (tiang penyangga atap puncak) pada Bale Dangin (balai tempat menyelenggarakan upacara kematian) dan lain-lain, bahkan di dalam sesajenpun, khususnya "banten pasucian" dalam tingkatan upacara yang besar terdapat juga sesajen bernama "Banten Garuda". Juga banten pangesoring Sùrya dan Ulam Babangkitpun menurut lontar Kunadåûþaprakåtti menggunakan sate berbentuk garuda".
Berdasarkan uraian tersebut di atas, garuda dalam alam pikiran bangsa Indonesia di masa yang lalu maupun masyarakat Bali kini tetap berpegang kepada nilai filosofis atau makna garuda sebagai salah satu aspek kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa, sebagai burung merah putih (sveta-rakta-khagah) yang mempunyai missi untuk membebaskan umat manusia dari belenggu perbudakan atau penjajahan, baik penjajahan jasmani maupun belenggu dunia material yang menyesatkan.
Sungguh sangat tepat pilihan para pendiri negara, menjadikan Garuda yang kakinya mencengkram sasanti Bhineka Tunggal Ika dan di dadanya tergantung perisai sebagai simbolis Pancasila, lengkap dengan Candrasangkalanya, 17-8-45, sebagai lambang negara yang kita cintai. Semoga dengan kemerdekaan ini, missi garuda Pancasila membebaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan dalam wujud kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan segera tuntas dan entas oleh kibasan sayapnya yang perkasa.

TIRTAYATRA

Pengertian tirtayatra
Tirtha-yatra berasal dari kata tirtha dan yatra. Tirtha berarti air suci, air kehidupan, atau nectar, tempat-tempat suci yang ada air sucinya dan lain-lain. Tirtha juga berarti orang-orang suci, sebab orang-orang suci umumnya berada di tempat-tempat suci yang ada air sucinya. Atau, orang-orang suci juga disebut sebagai tirtha karena orang-orang suci mempunyai kekuatan suci untuk menyucikan orang, seperti halnya kekuatan yang dimiliki oleh tempat-tempat suci dan/atau tirtha. Di Bali tirta berarti air suci yang sudah dimohonkan kepada Tuhan yang mana sudah menjadi wangsuh pada dari tuhan dan sudah mendapat berkat dari tuhan. Air itu walaupun dibuat dari air aqua atau air pancuran, tapi sudah melalui suatu proses upacara keagamaan atau spiritual tertentu sehingga tidak lagi menjadi air biasa, ia telah menjadi tirta.Tirta bisa juga berarti tempat suci. Di India ada tempat suci yang kesuciannya melebihi tempat suci yang lain. Tempat suci itu disebut  chardame. Char atinya empat dan dame artinya tempat yang sangat suci. Keempat tempat suci itu yaitu:1.      Bradrinat  yang ada di Himalaya tempat Rsi Wiasa bertapa. Goa tempat bertapa sampai sekarang masih ada.2.      Edarnat tempat pemujaan kepada dewa siwa3.      Jamuna Sri tempat munculnya sungai jamuna4.      Gangga Sri tempat munculnya sungai gangga.Siapun yang berhasil mengunjungi keempat tempat suci ini  kemoksaan atau pembebasan duniawai terjamin. Oleh karena itu sangat jarang ada orang berhasil kesana. Walaupun tempat ini melebihi tempat lain kesuciannya, namun pergi kesan tidak disebut Darmayatra tapi tetap disebut tirtayatra. Yatra berarti perjalanan. Jadi, tirthayatra berarti perjalanan suci mengunjungi tempat-tempat suci, perjalanan suci untuk menyucikan diri, perjalanan suci untuk bertemu dengan orang-orang suci, perjalanan suci untuk penyucian diri dari dosa-dosa. Kata tirtha secara tata bahasa Sanskerta disebutkan  berasal dari akar kata “tr” yang berarti “tiryate anena” (dengan mana diseberangkan), dengan mana orang diseberangkan dari lautan dosa.  Istilah lain yang mempunyai arti yang sama dengan tirthayatra adalah tirthatana, tirthabhigamana Orang-orang yang melakukan tirtayatra disebut tirtayatri  yang di India disebut yatri saja. Disamping tirtayatra ada istilah lain yang mirip dengan tirtayatra adalah dharmayatra. Dharmayatra biasanya lebih tepat untuk menyebutkan orang-orang yang melakukan perjalanan suci untuk menyebarkan dharma. Sebagai contoh perjalanan yang dilakukan Rsi Agastia yang datang ke Indonesia untuk menyebarkan ajaran dharma.
Tirtayatra merupakan yadnya agung yang sangat mulia,  oleh karena itu ia merupakan keharusan untuk dilakukan oleh setiap orang. Sebagai orang tua hendaknya memberi rangsangan kepada anak-anaknya untuk rajin secara teratur melakukan perjalanan tirtayatra. Pada anak-anak akan tersurat, terekam suatu kebahagiaan yang berbeda dengan kebahagiaan di rumah bila menonton T.V. Itu akan menjadi bekal hidupnya ke depan. Bagi yang kurang mampu (daridra) tetap bisa melakukan tirtayatra ke dalam diri karena dalam diri juga ada tirta. Jadi tirtayatra ke dalam diri ini berarti membersihkan diri ke dalam.
 Tahap persiapan:
Sehari sebelum berangkat bertirtayatra sebaiknya kita menyalakan dupa, melakukan “matur piuning” kepada beliau yang di tuju, mohon izin dengan cara “ngacep” dari jarak jauh atau dari rumah. Jika tidak melakukan ini maka walaupun kita sampai ditempat yang di tuju tidak akan mendapat berkah dari tampat suci itu. Disamping itu kita juga harus “matur piuning” kepada leluhur. Matur piuning kepada leluhur sangat penting karena leluhur akan menyertai kita dalam perjalanan ke tempat tirtayatra.
Yang tak kalah penting dalam persiapan yaitu persiapan terhadap kata-kata (wat), badan (kaya) dan pikiran (manah). Prabu menyebut persiapan ini dengan sebutan three in one. Jika dalam bertirtayatra ini memerlukan uang maka uang itu tidak boleh didapat dengan cara melanggar dharma dan tidak boleh didapat secara kredit.
 Tahap pelaksanaan:
Tirtayatra bukanlah perjalanan wisata biasa oleh karena itu hendaknya selama melaksanakan tirtayatra kendalikan apa yang disebut three in one. Misalnya perkataan dikendalaikan dengan menyanyikan lagu-lagu rohani seperti mekidung, bagjan, kirtanam dsbnya. Badan dikendalikan dengan menyanyi lagu-lagu rohani sambil bertepuk tangan. Sedangkan pikiran akan terkendali karena kita mendengar lagu-lagu rohani yang masuk kedalam pikiran.
Selama perjalanan kita tidak boleh membicarakan orang lain atau ngerumpi apa lagi menjelek-jelekan orang itu. Hindarkan pula berkata-kata atau bergurau atau bercanda yang kelewatan sehinga mengeluarkan kata-kata kotor atau kata-kata cabul dsbnya.
Setelah sampai di tempat yang dituju harus bersembahyang di tempat itu. Kalau di tempat itu ada tempat mandi, maka sebaiknya mandi. Jangan sesampai ditempat tirtayatra hanya foto-foto saja lalu pulang. Jika hal demikian yang dilakukan maka tidak ada manfaatnya bertirtayatra Di tempat tirtayatra kita harus mandi untuk meninggalkan kotoran batin dan bukan kotoran fisik. Dalam bertirtayatra yang kita mandikan bukan fisik tapi bathin kita.
Memasuki tempat bertirtayatra bagaikan masuk ketempat ruangan yang ber AC. Jika masuk ke ruangan yang ber AC terasa dingin atau sejuk maka seperti itulah tirtayatra itu seperti masuk dari daerah panas ke daerah dingin. Kita masuk ke tempat suci terasa dingin karena  mendapat getaran suci dari tempat suci.
Masuk ke tempat suci  bisa juga menyebabkan orang mengalami sakit bukan bermaksud untuk menyakiti orang itu tapi bermaksud membersihkan  orang itu dari problem-problem yang dialaminya. Perbersihan dari tempat suci ini lebih hebat dari pembersihan yang dilakukan dengan cara melukat yang biasa dilakukan di Bali .
Mereka yang melakukan tirtayatra  bisa dikatakan berhasil kalau selama pelaksanaan tirtayatra mereka mampu  melakukan minimal dua hal sbb:
1.       Dalam melaksanakan tirtayatra mereka yang makan tidak terlalu banyak, dapat mengendalikan indrianya, tidak mengembangkan kemunafikan, tilang tingkah lakunya tidak dibuat-buat, melepaskan diri dari  berbagai keterikatan keduniawian.
2.     Dalam melaksanakan tirtayatra mereka yang menjauhkan diri dari kemarahan, mereka yang kesadarannya bersih murni, mereka yang berbicara benar dan jujur, mantap dalam pelaksanaan sumpah-sumpah suci / brata-brata, mereka menghormati mahluk-mahluk lain sebagai menghormati dirinya sendiri.
Dalam melaksanakan tirtayatra usahakan melaksanakan tirtayatra dalam tingkatan satwa guna yaitu tirtayatra dalam tingkat kebaikan seperti tirtayatra demi penyucian diri, demi kebaikan leluhur supaya tenang di alam sana dan lahir menjadi orang yang lebih baik lagi. Jangan bertirtayatra dalam tingkat raja guna yaitu dalam tingkat kenafsuan seperti ingin mendapatkan cincin, keris dan ilmu kesaktian dsbnya. Jangan pula bertirtayatra dalam tingkat tama guna atau dalam tingkat kegelapan.
Yang sangat penting diperhatikan adalah selama bertirta yatra janganlah membawa daging sapi. Jika kita membawa daging sapi maka kita tidak akan mendapat apa-apa dalam bertirtayatra. Sapi adalah binatang yang sangat agung menurut weda, sapi hanya memakan rumput tapi sapi memberikan amerta kapada kita. Maka dari itu tidak sepantasnya kita membunuh sapi.
Bagi yang bertirtayatra bersama istri jangan melakukan hubungan suami istri selama bertirtayatra.
Paska bertirtayatra:
Setelah selesai bertirta yatra janganlah hasil tirtayatra ini dikotori dengan perbuatan-perbuatan kotor, atau pergi ke tempat-tempat kotor seperti ke tempat-tempat judi, mabuk-mabuk dan tempat PSK dsbnya. Kalau itu yang dilakukan maka akan menurunkan nilai dari tirtayatra itu, orang yang bertirtayatra seperrti itu tidak akan mendapat apa-apa.
Setelah bertirtayatra janganlah lalu menjadi orang aneh, tidak mau ini atau itu  karena menganggap diri sudah menjadi orang suci. Tidak hanya kunjungan ke India membuat orang menjadi suci.



Oleh Prabu Dharmayasa
Pada tanggal 2 Nopember 2008 Prabu Darmayasa memberikan darmawacana di Pura Sanggabuana Karawang. Prabu membagi darmawacananya dalam empat bagian yaitu, pengertian Tirtayatra, tahap persipan tirtayatra, tahap pelaksanaan tirtayatra dan paska tirtayatra.

JAPA MANTRA

Na tu mam sakyase drastum anenai’wa swacaksusa, Diwyam dadami te caksuh pasya me yogam aiswaram. Artinya: Tetapi engkau tak mungkin dapat melihat Aku dengan matamu sendiri ini, ini Aku berikan engkau mata suci, saksikanlah kekuatan-kekuata Ku sebagai Dewata (Bh.XI.8)
WEDA sebagai kitab suci merupakan pedoman hidup bagi setiap umat Hindu untuk mewujudkan kehidupan Moksartham jagadhitaya ca iti dharma. Sebagaimana halnya seorang pilot pesawat udara, maupun nahkoda kapal laut, menjadikan sebuah kompas sebagai pedoman untuk menentukan arah tujuan ke suatu tempat dengan aman dan selamat. Sebaliknya apabila pedoman tadi diabaikan, dapat dipastikan manusia akan kehilangan arah dan tujuan. Sesuatu yang baik dan benar dilaksanakan dengan sadar dan sungguh-sungguh akan berpahala kebahagiaan, dan apabila tidak dilaksanakan akan berpahala penderitaan. 

Hindu mengajarkan banyak cara dan jalan untuk mewujudkan kebahagiaan dalam hidup. Salah satu cara dan jalan tersebut adalah dengan mengucapkan Japa Mantra. Menurut Agni Purana sebagaimana dikutif oleh Sadguru Sant Keshavadas memberikan batasan pengertian Japa yaitu berasal dari suku kata “ja” artinya menghancurkan kelahiran dan kematian dan suku kata “pa “artinya menghancurkan semua dosa. Jadi japa adalah menghancurkan semua dosa dan meniadakan lingkaran kelahiran kematian serta membebaskan jiwa dari keterikatan duniawi. Japa juga berarti pengulangan mantra yang bersifat pikiran/mental. 

Mantra merupakan unsur terpenting dalam agama Hindu, karena setiap ada upacara keagamaan maupun sembahyang pasti akan terdengar mantra. Mengapa mantra merupakan unsur terpenting dalam agama Hindu? Jawabannya, karena mantra tersebut sangat diyakini mengandung kekuatan suci dan gaib. Konsep spiritual, mantra berasal dari kata “man “ dan “yantra “, yang artinya alat untuk melindungi pikiran. Pengucapan mantra bertujuan untuk melindungi pikiran dari berbagai macam godaan. Pikiran yang terlindungi dari kegiatan-kegiatan negatif akan dapat selalu diarahkan untuk memikirkan hal-hal yang bermanfaat dan senantiasa berjalan pada dharma, sehingga seseorang dengan cepat mendapatkan pencerahan spiritual. 
Pengertian mantra yang tidak kalah pentingnya adalah sebagai jampi yang kalau diucapkan dengan tekanan yang benar akan memberikan hasil untuk realisasi rohani atau keinginan keduniawian untuk kesejahteraan maupun kehancuran seseorang, tergantung dari motif untuk apa mantra itu diucapkan. Jadi Japa Mantra adalah pengulangan nama –nama Tuhan atau aksara-aksara Suci. 
Ada dua cara pengucapan japa yaitu dengan wacika / oral dan manacika pikiran/mental. Di dalam wacika terdapat dua macam, yang pertama Waikhari, dimana mantra-mantra diulang dengan gerakan bibir dan mengeluarkan suara, kedua Upamsu, mantra diulang-ulang dengan gerakan bibir tetapi tanpa mengeluarkan suara. Japa secara manasika adalah mantra diulang-ulang yang bersifat pikiran (japa mental). Dari berbagai methode pengulangan mantra, japa mental inilah yang dianggap paling mulia. Manu bersabda : “ Wacika sepuluh kali lebih bermanfaat dari kurban-ritualistik. Upamsu-japa adalah seratus kali lebih baik dan japa mental adalah seribu kali pahalanya. 
Untuk pemula, japa mental (manasika) memang sulit. Untuk menghancurkan kemalasan (guna tamas), seseorang harus mengikuti wacika japa, membersihkan nafsu ( guna rajas), seseorang harus melatih Upamsu. Dia yang pikirannya telah damai atau dipenuhi guna sattwam melakukan manasika japa. Tentu saja seseorang yang telah mencapai kesempurnaan bisa saja mempergunakan yang mana saja, tetapi bagi yang baru mulai, sebaiknya disiplin di atas ini diikuti dengan tetap melihat desa kala dan patra ( tempat, waktu dan keadaan) 
Untuk mendapatkan manfaat yang lebih tinggi dari japa mantra, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dipersiapkan seperti faktor lingkungan, cara penggunaan japa-mala (tasbih), mantra yang digunakan untuk japa. Beberapa persyaratan ini diperlukan dan harus diperhatikan, mengingat yang diucapkan adalah mantra-mantra suci weda agar seseorang cepat memasuki tahap meditasi.